Senin, 31 Agustus 2009

KEWIBAWAAN GURU DALAM PENDIDIKAN

Masyarakat kita selalu berubah, tiap perubahan selalu memiliki dampak bermacam-macam pengaruh terhadap lapangan pendidikan. Perubahan pengaruh tersebut mendorong para guru untuk mempunyai visi yang jelas dalam melaksanakan pendidikan dan misi yang terarah dalam menuju masa depan yang diinginkan. Oleh karena itu setiap guru perlu berusaha mengembangkan potensi-potensi kreatif dan inovatif dalam pembelajaran untuk dapat berpartisipasi dalam iklim yang selalu berubah. Misalnya tanggung jawab dan kewibawaan dalam pendidikan yang selalu menyangkut antara peserta didik dan pendidik itu sendiri. Kewibawaan pendidikan berfungsi agar peserta didik memiliki sikap tunduk atau patuh secara sukarela dan ikhlas terhadap segala perintah maupun larangan pendidiknya demi tercapainya tujuan pendidikan. dan bukan karena pemaksaan apalagi melalui ancaman.
Beragamnya fenomena yang muncul dalam tatanan kehidupan masyarakat khususnya di lingkungan pendidikan pada saat ini yang berkaitan dengan perubahan tingkah laku, sehingga terjadinya kemerosotan moral dimana-mana, menjadikan citra bangsa kita tidak seindah dulu, khususnya Aceh sebagai daerah yang kental dengan syari’at Islam, yang dikenal dengan masyarakat yang santun, berakhlak mulia, saling menghormati dan membantu satu sama lain serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral dalam kebersamaan dan persatuan. Kenyataan seperti dapat kita saksikan dalam berbagai pemberitaan, baik melalui media cetak maupun media elektronik, setiap hari ditanyangkan tindakan-tindakan menusia yang tidak manusiawi, seperti miningkatnya tindak kekerasan, perampokan saban hari berada dihalaman utama media cetak, penganiayaan dan tindak kriminalitas lainnya.
Kemerosotan moral dalam dunia pendidikan disadari atau tidaknya saat ini antara lain menurunnya sikap hormat peserta didik kepada gurunya, hal ini bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor dalam pembelajaran oleh guru itu sendiri, namun kenyataannya faktor kewibaan guru dalam pendidikan merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Berikut ini coba kita perhatikan jika dalam sebuah lembaga pendidikan sekolah terjadi suatu kasus seperti ini:
Pada suatu sekolah ada seorang guru A yang sangat disegani oleh peserta didiknya. Mereka (peserta didik) sangat segan dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum guru A masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib menantikan Bapak/Ibu guru A itu mengajar. Semua perintah dan larangan serta nasehatnya yang diberikan kepada peserta didiknya, dituruti dan dipatuhi oleh mereka. Peserta didik hormat kepadanya.
Sebaliknya dengan guru B yang ada di sekolah itu. Ia kurang disegani peserta didiknya. Setiap guru B itu mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut dalam kelas, sehingga kelas menjadi rebut. Peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya tidak atau dihiraukannya oleh peserta didiknya. Anak-anak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang diberikannya, sering kali tidak dikerjakan oleh mereka. Karena itu guru B seringkali marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena mereka insaf percaya kepadanya.
Dari contoh di atas dapat kita mengatakan, bahwa guru A lebih berwibawa, lebih mempunyai Kewibawaan dari pada guru B. anak-anak lebih patuh dan lebih segan terhadap guru A. segala sesuatu yang diperintahkan atau dinasihatkan ataupun diperingatkan oleh guru A, lebih meresap dan lebih mudah serta dengan senang menjalankannya dari pada oleh guru B. atau dengan kata lain: pengaruh yang ditimbulkan oleh guru A lebih dipatuhi oleh anak-anak. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kewibawaan adalah kepenurutan secara sukarela dari pihak anak didik pada pendidiknya atas dasar kesadaran dan tidak bersifat paksaan.
Guru menerima jabatannya sebagai pendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan ia menerima jabatan itu dari pemerintah. Ia ditunjuk, ditetapkan, dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh Negara atau masyarakat. Maka dari itu Kewibawaan yang ada padanya pun berlainan dengan kewibawaan orang tua. Kewibawaan guru, yang karena jabatan, juga bersifat dua :
1.
Kewibawaan Pendidikan
Sama halnya dengan kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua, guru karena jabatan berkenaan dengan jabatannya sebagai pendidik, yang telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Selain itu, guru karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi dari pemerintah yang mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan yang ada pada guru ini terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya, dan setiap tahun berganti murid.
2.
Kewibawaan Memerintah
Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik karena jabatan juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi kekuasaan (gezag) oleh pemerintah atau instansi yang mengangkat mereka. Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas; disanalah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya.

Kewibawaan Yang Seharusnya
Penggunaan kewibawaan oleh guru atau pendidik harus berdasarkan faktor-faktor berikut:
a. Dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaknya didasarkan atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi. Guru sebagai pendidik hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangannya. Dengan kebijaksanaannya, hendaklah anak dibawa kearah kesanggupan memakai tenaganya dan pembawaannya yang tepat. Jadi wibawa pendidikan itu bukan bertugas memerintah, melainkan mengamati serta memperhatikan dan menyesuaikannya kepada perkembangan dan kepribadian masing-masing anak.
b. Guru hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Kesempatan atau keleluasaan itu hendaknya makin lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan bertambahnya umur anak.
c. Guru hendaknya menjalankan kewibawaannya itu atas dasar cinta kepada peserta didik. Ini dimaksudkan hendak berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka. Jadi bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik. Sebab dari cinta atau kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban untuk peserta didik, selalu memperhatikan kebahagiaan anak yang sejati.
Dalam pergaulan baru terdapat pendidikan jika didalamnya telah terdapat kepatuhan dari peserta didik, yaitu sikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain; mau menjalankan seruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan pendidikan; ada pula pergaulan semacam itu yang mempunyai pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral saja. Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju ke kedewasaan peserta didik. Untuk menolong mereka sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri.
Tidak semua tunduk atau menurut terhadap orang lain (seperti menurut kepada perintah-perintah peserta didik lain) dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa pendidikan”. Bagaimana sikap peserta didik terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata :
a.
Sikap menurut atau mengikut (volgen)
Yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
b.
Sikap tunduk atau patuh (gehoorzamen)
Yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak pada orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.
Maka kewibawaan berfungsi agar peserta didik memiliki sikap tunduk/patuh secara sukarela dan sasar berhadap segala-segala perintah maupun larangan pendidiknya demi tercapainya tujuan pendidikan. Pelaksanaan kewibawaan dalam pendidikan itu harus bersandarkan perwujudan norma-norma dalam diri guru sebagai pendidik sendiri. Justru karena wibawa dan pelaksanaan wibawa itu sendiri mempunyai tujuan untuk membawa anak ke tingkat kedewasaan, yaitu mengenal dan hidup yang sesuai dengan norma-norma, maka menjadi syarat memberi contoh dengan jalan menyesuaikan dirinya dengan norma-norma itu sendiri. Wallahu’alam.

*Penulis adalah Guru PAI Pada SMA Negeri 1 Peukan Bada Aceh Besar